Wednesday, May 20, 2009

Catatan Debu

Derap-derap langkah berat

menggema.

Segenap penjuru alam

mendadak sunyi.

pada ringkikan kuda tunggangan

prajurit-prajurit perkasa

yang menerobos ke tengah

medan asap,

laga yang tidak sunyi

dari gemerincing besi

percikan-percikan api

kepulan debu yang terus merangsek naik

menutupi wajah-wajah kabur

tubuh yang tergeletak kaku

amis darah berserakan.

Hanya ada kilauan pedang

dan semboyan yang tidak gugur

serta senyum sang syahid

dalam iringan-iringan malaikat.




Hanya ada 2 kata;

Syahid



atau



Menang!!

Sunday, February 15, 2009

Pesan Untuk Adik-Adik


Bismillahirrahmaanirrahim.

Tidak ada kata yang lebih pantas untuk dilafaz selain kesyukuran yang tidak terhingga kepada Allah S.W.T. Ketika kami berkeluh kesah, Dia lah yang memberi ketenangan. Ketika kami ditindas, Dia lah yang membela.Ketika hati-hati kami dalam kegelapan, dialah yang memberi cahaya. Sungguh hamba-hamba Mu yang hina ini sangat jauh dari rahmat Mu.

Adik-adik ku

Sesungguhnya kami bukanlah orang mulia yang pandai berkata-kata,

Kami juga bukan malaikat yang tidak pernah berbuat dosa,

Kami bukanlah penyair yang mampu menawan hati-hati manusia,

Bukan juga pahlawan yang gagah memegang senjata,

Apalagi penulis yang pandai berkarya,

Tapi kami hanyalah manusia biasa,

Manusia hina yang berdosa, jauh dari sempurna,


Adik-adik ku,

Waktu kami bersama kalian di sini hanya sedikit yang tersisa. Bahkan ada yang sudah pulang. Tapi percayalah, kebersamaan kita selama ini telah memberi seribu satu makna. Kalian adalah guru kami. Kalianlah yang mengajarkan kami erti persaudaraan. Mengajar kami untuk menjadi orang yang lebih pengertian.

Ketahuilah wahai adik-adik bahwa misi kami selama ini adalah untuk bersama-sama kalian. Bersama-sama menyongsong kebenaran. Mencipta kebaikan demi kebaikan serta melakukan perbaikan atas kebaikan-kebaikan yang telah sedia ada. Dengan harapan kebaikan-kebaikan tersebut terwariskan dan dipertahankan. Memang, merosakkan sesuatu adalah lebih mudah dari mempertahankan. Tapi percayalah wahai adik-adik yang kami cintai, banggunan-banggunan kebaikan itu masih kukuh dan tegap berdiri. Walaupun di dalamnya ada hama dan anai-anai yang cuba menggerogoti. Oleh itu kalianlah yang harus jeli. Jangan sampai bangunan kebaikan ini rusak akibat kelalaian kita sendiri. Kami membina tapaknya, tetapi kalianlah yang membangun dan mempertahankannya. Kerja membangun dan mempertahankan bangunan kebaikan ini tidak bisa dilakukan secara bersendirian, sebaliknya memerlukan sebuah kebersamaan. Tidak cukup jika kalian hanya sama-sama bekerja, tetapi harus bekerja sama. Seorang kontraktor dan pekerja-pekerja yang membina sebuah bangunan haruslah bekerja mengikut planning dan blueprint yang telah di buat. Jika mereka meneruskan kerja membina bangunan tersebut mengikut selera mereka sendiri, maka akan terbinalah bangunan yang rapuh, cacat dan akhirnya akan ambruk. Hal inilah yang akan berlaku jika kita sama-sama bekerja, tetapi tidak bekerjasama. Begitu juga dengan bangunan kebaikan yang sedang kita bina dan pertahankan selama ini.

Ayuhlah adik-adik,

Mari kita berperan. Mari kita mengerahkan seluruh potensi kita untuk membina bangunan kebaikan ini. Percayalah bahwa setiap dari diri kalian mempunyai potensi yang kalian sendiri belum sadar, dan jika potensi-potensi ini dikelola dan diarahkan dengan baik, maka akan menghasilkan suatu kekuatan perbaikan yang luar biasa. Air yang mengalir itu memang lebih baik dari air yang tenang kerana ia tidak akan menyebabkan timbulnya penyakit. Tetapi sedarlah adik-adik, jika air yang mengalir itu diarahkan dan di kelola, ia akan memberi manfaat yang jauh lebih besar kerana dapat menggerakkan turbin-turbin untuk menjana elektrik, atau bahkan mengairi kebun tanaman yang begitu luas. Tetapi jika air yang mengalir itu tidak bisa dikelola atau di arahkan, maka ia bahkan bisa membawa kerusakan yang luar biasa seperti banjir dan sunami.

Ayuh kita galang kebersamaan. Sama-sama bekerja dan bekerja sama. Jadilah kalian kaum-kaum yang beramal. Asahlah potensi-potensi kalian. Quwwatul Khair (kekuatan kebaikan) itu ada pada setiap diri kalian. Berperanlah walau sekecil apa pun peran kalian. Sesungguhnya hanya Allah S.W.T sahaja yang bisa menilai amal-amal hambanya. Khairunnaas, Anfa’ulinnaas.



Friday, February 13, 2009

Keberpihakan

Kita masih disini. Bumi asing yang sudah menjadi seperti rumah kedua. Suasana asing yang kita jadikan milik kita sendiri. Masyarakat kecil yang kita corakkan dengan citarasa kita sendiri. Meski bukan suatu yang sempurna, tapi sudah bertahun-tahun kita mengusahakan suatu lingkungan dan bi’ah yang tidak asing bagi kita. Ada kompromi-kompromi yang harus kita lakukan kerana pertimbangan-pertimbangan bahwa warna dalam komuniti kita bukan hanya satu. Akan tetapi yang perlu kita ingat bahwa seharusnya kuas yang mencoretkan warna pada komuniti ini seharusnya berada di dalam genggaman kita.


Tak ada manfaat keyakinan dakwah yang penganutnya ragu-ragu memasyarakatkan dan membelanya. Kadang seorang kader menjadi gamang diserang tuduhan fanatik, sektarian atau fundamentalis, padahal para penuduh itu sendiri tak mengerti ucapan yang mereka bunyikan. Ada juga yang cenderung berkompromi dengan kehendak yang lain, tanpa mengerti apa yang dikorbankan. Seharusnya toleransi dan menjaga hati bukanlah semata-mata pekerjaan satu pihak. Kita bukan sedang dalam kondisi perjanjian Hudaibiah, banyak dari situasi dan kondisi dalam komuniti ini mempunyai peran dari diri kita. Bukan namanya kompromi yang sihat apabila kita baru mengadakan alasan untuk sesuatu yang tidak kita tetapkan untuk tetap dijalankan atas dasar menjaga hati.


Sudah seharusnya kita lebih bersikap berhati-hati dan visioner. Dimensi syarii semata-mata tanpa mempertimbangkan waqi’ adalah suatu yang sudah seharusnya kita lampaui dalam marhalah ini. Sudah ada tapak dan blueprint tersendiri , cita-cita dan harapan yang besar untuk komuniti ini yang sudah kita perjuangkan sejak tahun-tahun awal. Meski sebahagian orang menolak bahkan untuk sekadar memahami, alangkah pedih apabila dikalangan sendiri, keputusan-keputusan yang kita ambil dianggap asing. “Kam Fiina Laisaa Minna, Kam Minna Laisaa Fiina.”

Inilah saatnya untuk kita berpihak. Menyatakan sikap tidak bererti melukai. Bahkan apabila kita berdiri atas prinsip yang kita yakini, orang lain akan lebih menghargai dan menghormati. Walau bukan itu pertimbangan kita dalam bersikap. Akan tetapi adalah suatu keniscayaan dalam kafilah yang ghaarib ini kita mengambil pertimbangan dan berpihak. Ada suatu yang pantas kita pertahankan di sini. Kultur yang telah kita bina, meski bukan sempurna akan tetapi apabila kita tidak peka dan sensitif menjaganya, ini semua bisa hilang. Tanyakan pada hati, apa kita berbuat bukan kerana nafsu? Apa keinginan-keinginan kita bukan hanya ambisi? Apa kita lebih memilih toleransi sepihak,meski “izzah” ini yang akan terluka. Imam Ghazali mengumpamakan nafsu seperti anak kecil. Apa saja ingin diraih dan dikuasai. Ia akan terus menuntut. Jika dituruti, nafsu tidak akan pernah berhenti.


Pada hujungnya, semua ini akan kembali kepada diri kita sendiri. Seberapa ikhlas kita berbuat, dan bukannya mencari pembenaran atas koalisi-koalisi yang selama ini belum pernah memberikan balasan atas pengorbanan-pengorbanan kita. Sudahkah kita melihat akhir dari kompromi ini, apabila kita memberikan alasan-alasan syarii di wilayah abu-abu yang kita jejaki. Apabila nama dakwah yang kita gunakan pada awalnya, pastikan itu yang kita bawa sampai ke akhirnya. Bila tujuan akhir kita adalah untuk redha Ilahi, apa kelemahan kita ini bisa ditolerir? “Celupan Allah, apakah ada yang lebih baik dari celupan-Nya” Berpihaklah.


Thursday, February 5, 2009

Tuah & Jebat

Sewaktu kecil, seringkali kita dicekcoki dengan kisah Hang Jebat dan Hang Tuah. Mirip lagenda, entah seberapa banyak yang nyata antara kesaktian tameng sari sampai ketaatan tak berbelah bagi seorang Tuah. Yang aku tahu Hang Tuah sering digambarkan sebagai wira, kesatria yang pintar berpencak silat, digandrungi para wanita dan akhirnya watak tragedi yang pada hujungnya kembali membuktikan kesetiaan meski titah atas kepalanya membuat sang bendahara terpaksa berbohong kepada sultan. Anak kecil pasti lebih tertarik dengan keperkasaan sang wira dan mungkin simpati dengan harga yang harus dibayar kerana cenderung watak utama ada kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi yang membuktikan bahwa dirinya seorang wira.
Jebat pula mendapat peran antagonis, meski baru terlihat pada akhir cerita. Berkhianat kerana setia. Bukan tipikal melayu, akan tetapi penceritaan jebat sering datang dengan konotasi-konotasi negatif. Kebiasaan dari suatu penceritaan samaada untuk membela golongan tertentu atau menekankan kebiasaan atau hukum tertentu yang tidak boleh dilanggar. Aku biasa percaya bahwa sejarah punya kecenderungan memihak yang menang. Entah bagaimana sekiranya seorang jebat yang menang dalam pertarungan tersebut, apakah kemudian jebat yang menjadi wira. Mungkinkah tradisi Melayu akan mula berbicara bahwa kebenaran lebih besar dari raja.
Entah sejak kapan aku mula melihat jebat sebagai seorang wira. Setia kawan dan tidak terima Sultan lebih percaya fitnah dari pelayannya yang setia. Bahkan barangkali seorang jebat tewas bukan kerana kemampuannya yang kurang, dia hanya tidak tega. Sedang tuah mereguk darah saudaranya demi setia kepada raja. Filosofi yang aku percaya sudah seharusnya ditinggalkan. Bukan aku ingin durhaka, akan tetapi aku selalu percaya keadilan harus ditegakkan, entah itu seorang sultan atau hanya seorang bapa. Abu Bakar r.a. sendiri tidak segan menyuruh rakyatnya meluruskannya sekiranya dia menyimpang.
Kejadian terbaru yang berlaku di tanah air merupakan titik balik pada sebuah gelombang kebangkitan rakyat . Pengkhianatan demi pengkhianatan kepada rakyat. Amanah-amanah yang dilalaikan. Alih-alih intrik-intrik kotor demi kepuasan atas kekuasaan tanpa kendali iman. Dan harapan kepada seorang raja, hanya tinggal harapan. Entah ini pengkhianatan atau sekadar titah, atau seorang raja tidak mungkin berkhianat, hanya rakyat yang harus setia seperti seorang Tuah. Entah bagaimana tafsiran atas keadilan, yang pasti sejarah selalu dicoret menurut versi sang pemenang. Akan tetapi entah kenapa, aku malah merasa tewasnya jebat adalah kemenangan. Ampun Tuanku bukan niat hamba untuk durhaka…..

Friday, January 16, 2009

Doakan Saudara Kita Di Palestina




Ya Allah, sesungguhnya kami meletakkan-Mu di batang-batang leher musuh-musuh kami

Dan kami berlindung dengan-Mu daripada kejahatan-kejahatan mereka
Ya Allah, leburkanlah kumpulan-kumpulan mereka
Pecah belahkan dan kacau bilaukan persatuan mereka
Goncangkan pendirian mereka
Dan hantarkanlah anjing-anjing Mu ke atas mereka
Wahai Tuhan Yang Gagah Perkasa
Wahai Tuhan Yang Maha Penghukun
Wahai Tuhan yang bersifat murka
Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah
Wahai Tuhan yang menurunkan Kitab,
Wahai Tuhan yang mengarakkan awan
Wahai Tuhan yang menewaskan bala tentera al-Ahzab
Kalahkan mereka dan menangkan kami ke atas mereka.


Marilah bersama-sama mendoakan saudara-saudara kita. Semoga Allah S.W.T bersama-sama meraka yang sabar.

Wednesday, January 14, 2009

anak-anak rafah

Mata-mata jernih itu,
memandang kejauhan.
awan-awan biru
yang beberapa hari ini berubah kelabu
sesekali percikan api muncul
mewarnai langit dengan warna emas
sungguh pemandangan yang jarang.
bagi tubuh-tubuh kerdil
itu bunga api
yang biasanya muncul pada tahun baru
atau hari raya aidilfitri.

Si kecil tertawa girang
atas pertunjukan yang jarang

Mata-mata jernih itu,
masih memandang ke kejauhan
awan di seberang kota,
apa tetangganya lagi berpesta?
hujan bunga api tidak pernah berhenti.
Tahun baru sudah lewat, aidilfitri juga masih jauh.

Si kecil hairan
atas kejadian yang jarang

Mata-mata jernih itu,
memandang jejeran truk-truk yang panjang,
mahu kemana? kenapa muatannya banyak sekali?
Apa ada perjamuan raksasa?
Kenapa cuma berhenti disini berhari-hari?

si kecil bertanya-tanya
atas keberangkatan yang tidak juga pergi

Mata-mata jernih itu,
berkaca-kaca
bulir-bulir jernih itu, air mata?
Langit kota sahabatnya masih bercahaya.
Apa si kecil cemburu?
tapi wajahnya terlihat berduka.

Aku yang terpinga,
si kecil tanpa dosa menangis tiba-tiba

Ku sapa dia dari kejauhan
tangannya terngadah.
kepalanya mendongak.
matanya memandang kejap.
ke langit terbuka.

Kulihat
mulutnya komat-kamit,
kudengarkan butir-butir kata
yang terbata-bata
kerna ada isak tangis

si kecil lagi berdoa,
kepadamu Ya Allah.
untuk teman-temannya
yang kesakitan dan menderita
dihujani roket dan bedil-bedil mesiu

Mata-mata jernih itu,
kini membara
kepada Yang Maha Kuasa
dia memanjat doa
semoga musuh temannya itu
hancur binasa.

kurasa si kecil kini mengerti
apa yang terjadi di kota tetangganya

si kecil melangkah pulang
kupikir dia lapar
meninggalkan teman-teman sepermainan
untuk roti makan tengahari

Aku masih disitu
ketika si kecil kembali
ada yang disembunyikan ditangannya
batangan kayu dengan ujung besi
Aku sapa dan bertanya
mahu ke mana dengan sebuah tukul besi?
wajah polos itu memandangku ragu
tangannya diangkat lurus
kuikuti arah telunjuknya
tepat di tembok pemisah,
pagar perbatasan yang menghalangi jejeran truk-truk...
mataku bertemu gaza

Friday, December 5, 2008

Percaya

Hatiku miris. Seorang ibu lewat kaca televisi menangis. Aku tidak dapat memahami semua yang diluahkan olehnya. Akan tetapi, tangisan dan air muka seorang ibu dari Maluku yang mengumpulkan wang dari hasil jualan padinya bertahun-tahun untuk naik haji itu cukup ku fahami. Dia batal berangkat. Agennya menipu. Meski lambaian Kaabah sudah sebegitu dekatnya. Meski dia sudah berada di Soekarno-Hatta. Menunggu penerbangan ke Jeddah yang tidak mungkin ada buatnya.

Memang bukan rezkinya ibu itu dan beberapa lagi yang lain untuk menunaikan rukun Islam yang kelima pada tahun ini. Apa kerana silap langkah atau terlalu mudah mempercayai? Apa kerana penipunya terlalu pintar? Tetap kerinduan yang tidak terbendung hanya bisa mengalir lewat bulir-bulir air mata. Sungguh penipuan telah menjadi lumrah. Apakah nilai kepercayaan tidak lagi eksis? Masyarakat bagaimanakah yang bisa hidup aman dan bahagia bila dalam hidupnya tidak bisa lagi mempercayai. Kerana bila sudah tidak percaya yang tersisa hanya curiga. Syak-wasangka yang sewaktu-waktu bisa memecah persaudaraan dan pertemanan.

Mungkin ibu itu masih bisa berhaji pada tahun depan sekiranya ada kesempatan umur dan kesehatan. Akan tetapi itu bila wangnya bisa kembali secara utuh kepadanya. Mungkin jika ada bantuan simpati dalam masyarakat ini. Aku masih percaya akan kebaikan hati yang masih wujud meski di tengah-tengah persaingan antara sesama. Meski penilaian sudah berhenti hanya pada aspek2 material.

Teringat aku seorang tukang becak. Dahinya berbekas tanda sujud. Kutemukan pada waktu solat asar di masjid. Selesai berdoa dia kembali mengayuh becak. Sungguh meski tidak ramai tukang becak yang kutemukan seperti dia. Ternyata masih ada kesejukan dalam masyarakat ini. Kalau kita mencari, ada kebaikan-kebaikan yang tersembunyi. Ternyata persangkaan buruk kita tentang seseorang atau sesuatu tidak semuanya benar. Bahkan kita akan hairan dengan kebaikan yang kita temukan pada tempat dan orang yang tidak kita sangka-sangka. Teringat ibu tadi, aku berdoa semoga dia diberikan kesempatan untuk berhaji. Lebih penting lagi semoga dia tidak menambah daftar panjang kecurigaan dalam berinteraksi. Moga lebih arif dalam menilai. Sungguh aku merindukan zaman-zaman kegemilanga tamadun kerana kearifan dan masyarakatnya saling berkasih-sayang.