Friday, February 13, 2009

Keberpihakan

Kita masih disini. Bumi asing yang sudah menjadi seperti rumah kedua. Suasana asing yang kita jadikan milik kita sendiri. Masyarakat kecil yang kita corakkan dengan citarasa kita sendiri. Meski bukan suatu yang sempurna, tapi sudah bertahun-tahun kita mengusahakan suatu lingkungan dan bi’ah yang tidak asing bagi kita. Ada kompromi-kompromi yang harus kita lakukan kerana pertimbangan-pertimbangan bahwa warna dalam komuniti kita bukan hanya satu. Akan tetapi yang perlu kita ingat bahwa seharusnya kuas yang mencoretkan warna pada komuniti ini seharusnya berada di dalam genggaman kita.


Tak ada manfaat keyakinan dakwah yang penganutnya ragu-ragu memasyarakatkan dan membelanya. Kadang seorang kader menjadi gamang diserang tuduhan fanatik, sektarian atau fundamentalis, padahal para penuduh itu sendiri tak mengerti ucapan yang mereka bunyikan. Ada juga yang cenderung berkompromi dengan kehendak yang lain, tanpa mengerti apa yang dikorbankan. Seharusnya toleransi dan menjaga hati bukanlah semata-mata pekerjaan satu pihak. Kita bukan sedang dalam kondisi perjanjian Hudaibiah, banyak dari situasi dan kondisi dalam komuniti ini mempunyai peran dari diri kita. Bukan namanya kompromi yang sihat apabila kita baru mengadakan alasan untuk sesuatu yang tidak kita tetapkan untuk tetap dijalankan atas dasar menjaga hati.


Sudah seharusnya kita lebih bersikap berhati-hati dan visioner. Dimensi syarii semata-mata tanpa mempertimbangkan waqi’ adalah suatu yang sudah seharusnya kita lampaui dalam marhalah ini. Sudah ada tapak dan blueprint tersendiri , cita-cita dan harapan yang besar untuk komuniti ini yang sudah kita perjuangkan sejak tahun-tahun awal. Meski sebahagian orang menolak bahkan untuk sekadar memahami, alangkah pedih apabila dikalangan sendiri, keputusan-keputusan yang kita ambil dianggap asing. “Kam Fiina Laisaa Minna, Kam Minna Laisaa Fiina.”

Inilah saatnya untuk kita berpihak. Menyatakan sikap tidak bererti melukai. Bahkan apabila kita berdiri atas prinsip yang kita yakini, orang lain akan lebih menghargai dan menghormati. Walau bukan itu pertimbangan kita dalam bersikap. Akan tetapi adalah suatu keniscayaan dalam kafilah yang ghaarib ini kita mengambil pertimbangan dan berpihak. Ada suatu yang pantas kita pertahankan di sini. Kultur yang telah kita bina, meski bukan sempurna akan tetapi apabila kita tidak peka dan sensitif menjaganya, ini semua bisa hilang. Tanyakan pada hati, apa kita berbuat bukan kerana nafsu? Apa keinginan-keinginan kita bukan hanya ambisi? Apa kita lebih memilih toleransi sepihak,meski “izzah” ini yang akan terluka. Imam Ghazali mengumpamakan nafsu seperti anak kecil. Apa saja ingin diraih dan dikuasai. Ia akan terus menuntut. Jika dituruti, nafsu tidak akan pernah berhenti.


Pada hujungnya, semua ini akan kembali kepada diri kita sendiri. Seberapa ikhlas kita berbuat, dan bukannya mencari pembenaran atas koalisi-koalisi yang selama ini belum pernah memberikan balasan atas pengorbanan-pengorbanan kita. Sudahkah kita melihat akhir dari kompromi ini, apabila kita memberikan alasan-alasan syarii di wilayah abu-abu yang kita jejaki. Apabila nama dakwah yang kita gunakan pada awalnya, pastikan itu yang kita bawa sampai ke akhirnya. Bila tujuan akhir kita adalah untuk redha Ilahi, apa kelemahan kita ini bisa ditolerir? “Celupan Allah, apakah ada yang lebih baik dari celupan-Nya” Berpihaklah.


No comments: